| Pesta dadung (tali tambang dalam bahasa sunda) merupakan kesenian tradisional berasal dari Desa Legokherang Kecamatan Cilebak Kabupaten Kuningan yang hidup ratusan tahun lalu. Kendati dalam perjalanannya tidak semulus kesenian tradisi lainnya. Namun paratetua/sesepuh desa tidak mengharapkan tradisi itu punah. Sebab sudah berlangsung secara turun temurun dan menjadi salah satu ikon seni budaya Kabupaten Kuningan. Pesta dadung merupakan tradisi budak angon (pengembala kambing) di saat menggembalakan ternaknya di huma atau di ladang. diperkirakan tradisi itu mulai dikenal sekitar tahun 1818, kaulinan (permainanan) barudak yang memanfaatkan waktu luang sewaktu menggembala ini mengalami perubahan dari kaulinan budak angon menjadi sikap syukur penduduk setempat yang mata pencahariannya mengandalkan sektor pertanian dan peternakan setelah panen raya. |
Dadung panjangnya kurang lebih dua belas meter tujuannya sebagai alat untuk menari dan menyanyikan lagu yang diiringi gamelan. Tarian yang digunakan jenis tari jalak pengkor hasil kreasi Angkin Jiwa Laksana.
Sedangkan nyanyian sebagai pengiring, menggunakan musik kangsreng dan waledan. Kedua jenis musik ini hasil ciptaan Sunan Gunung Djati atau bisa disebut Wali Sanga. Sehingga tradisi pesta dadung memiliki beberapa visi.
Melestarikan tradisi kehidupan agraris dan nilai-nilai penyebaran Islam. Soalnya pada jaman dahulu, penyebaran Islam lebih efektif dengan kesenian.
Di tempat terpisah, tokoh muda Desa Legokherang, Abung Kusman mengungkapkan. Pesta dadung diselenggarakan setiap tahun, terutama di bulan Juli. Namun kegiatan itu tidak bisa dilaksanakan secara secara rutin setiap tahun karena beberala alasan.
Diantaranya keterbatasan dana, juga perhatian Pemkab Kuningan belum sepenuhnya. Padahal tradisi seharusnya mendapatkan perhatian serius.
"Diakui, Pemkab Kuningan terhadap kesenian belum dapat memperhatikan secara serius. Baik dari aspek anggaran maupun pembinaannya.
Padahal, pesta dadung sudah menjadi salah satu ikon Kabupaten Kuningan di tingkat regional dan nasional. Pada Tahun 80-an pesta dadung sering dipentaskan di anjungan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Jawa Barat," ungkapnya.
Namun kelangsungan tradisi ini, kata Abung, sampai saat ini seperti sebuah pepatah: hidup segan mati pun enggan. Kendati demikian, masyarakat beserta aparatur Desa Legokherang tetap berusaha mempertahankan dan melangsungkan tradisi itu setiap tiga tahun sekali. "Hal ini cukup memprihatinkan.
Sebab, tanda syukur masyarakat agraris kan setiap tahun sekali selepas panen. Tapi hanya dapat dilaksanakan tiga tahun sekali, padahal kalau saja tradisi ini dikembangkan mungkin bisa jadi salah satu penunjang pariwisata kuningan apalagi di kaitkan dengan kuningan sebagai kabupaten pariwisata" ucapnya prihatin.
Andai saja tradisi ini dikembangkan hingga dapat menarik wisatawan mungkin ada banyak dampak positip terhadap pembangun desa legokherang ulas abung kembali